news
Wednesday 5 September 2012

Djuhhari Witjaksono

Tokoh Bahari yang akan kita bahas kali ini adalah seorang seniman

Nama:
H Djuhhari Witjaksonotokoh bahari
Lahir:
Malang, Jawa Timur, 15 Desember 1930
Pekerjaan:
Pembuat Miniatur Perahu Majapahit

Pendidikan:
STM Negeri Malang Jurusan Bangunan, 1957
Penghargaan:

  • Pemenang terbaik kerajinan Asia Tenggara di Bangkok, 2006



  • Pemenang lomba terbaik desain cenderamata berciri khas Indonesia, Jakarta International Gift Show, 1998



  • Pemenang pertama lomba cenderamata khas Jatim untuk tanu negara/pemerintah daerah 1997



  • Upakarti, 1991


Sejak membuat miniatur perahu layar tahun 1980, Djuhhari Witjaksono berupaya menyebarkan kesadaran bahari ke seluruh Nusantara. Berbagai miniatur perahu, mulai yang berada dalam botol hingga berukuran 2 meter, tersebar di seluruh Indonesia lewat tangan Djuhhari.

Sampai kini, kakek lima cucu itu masih aktif mengawasi Sanggar Seni Bahari Tradisional (SSBT) di Mojokerto, Jawa Timur, yang memproduksi miniatur perahu beragam model dan bentuk. Bahkan, sanggar itu juga menerima kaum muda yang mau berlatih kemahiran membuat miniatur perahu.

”Beberapa bulan lalu ada lima orang dari Ambon yang magang selama tiga bulan. Setelah itu, datang lagi 20 orang dari Riau untuk belajar di sini,” kata Djuhhari, pertengahan Juni lalu. Sejak tahun 1980 sudah banyak perajin dari seluruh Indonesia yang menimba ilmu padanya.

Pada 1986 Djuhhari melakukan penelitian kecil-kecilan untuk menemukan bentuk asli perahu Majapahit. Berbagai buku yang dipadu daya imajinasi dan keterampilan tangannya menghasilkan bentuk awal perahu Majapahit.

Ia pergi ke sejumlah candi, seperti Penataran di Blitar dan Borobudur di Magelang, untuk mempelajari bentuk-bentuk perahu masa itu. Ia juga mengunjungi Museum Maritim di Amsterdam, Belanda, untuk melengkapi pemahamannya soal bentuk perahu Majapahit.

Upaya rekonstruksi miniatur perahu Majapahit itu mendekati bentuk idealnya tahun 1991. Tiga tahun kemudian, sebuah pabrik rokok di Indonesia memasukkan model perahu Majapahit itu dalam kalender terbitan mereka dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Miniatur perahunya makin terkenal hingga beberapa pihak meniru dan mengaku-aku sebagai pembuatnya. Djuhhari lalu mengurus hak ciptanya. Pada 4 Agustus 1999, ia mendapatkan hak cipta perahu Majapahit dari Departemen Kehakiman dan HAM (kini Departemen Hukum dan HAM).

Dua perahu Majapahit berukuran 2,5 meter sempat dilegonya. Salah satunya kepada mantan Gubernur Jatim Basofi Sudirman. Satu perahu jenis itu masih dia simpan walau ada yang menawarnya seharga Rp 40 juta.

”Namun, perahu itu tidak saya kasihkan. Ini untuk master saya,” kata Djuhhari.

Ekspedisi Majapahit

Ada sebentuk keranjang di ujung buritan perahu tersebut, untuk menampung batu dan difungsikan sebagai jangkar. Ada pula model burung-burung kecil yang hinggap di sejumlah bagian perahu Majapahit itu.

”Dulu, burung-burung dara ini dipakai untuk mengirimkan pesan,” kata Djuhhari.

Ada pula detail lain dalam perahu masternya, seperti tumpukan model bambu di sisi kiri dan kanan badan perahu yang berfungsi menambah daya apung perahu.

Keahlian dan ketekunan Djuhhari kemudian membuat dia menjadi salah satu rujukan untuk sejarah Majapahit. Pada 29 Juni 2009, misalnya, dia menjadi salah satu narasumber seminar tentang Majapahit yang digelar Japan Majapahit Association dan Direktorat Peninggalan Purbakala RI di Jakarta.

Japan Majapahit Association yang berkedudukan di Tokyo itu berniat menelusuri jejak kejayaan Kerajaan Majapahit dalam ekspedisi arung samudra keliling dunia. Perahu yang akan digunakan untuk tujuan itu rencananya dibuat berdasarkan tiruan kapal buatan zaman kejayaan Kerajaan Majapahit.

Takajo Yoshiaki dari Japan Majapahit Association mengatakan, karya Djuhhari dipakai sebagai salah satu acuan. Untuk itu, Djuhhari bakal mempresentasikan hasil riset dan telaahnya mengenai perahu Majapahit bersama sejumlah profesor dari Jepang, Perancis, Jerman, dan Indonesia. ”Karena memang belum pernah ada yang melihat kapal itu,” kata Yoshiaki.

Menurut Djuhhari, kemungkinan kendala pembangunan perahu Majapahit untuk kepentingan ekspedisi itu menyangkut masalah teknis. Pasalnya, miniatur perahu yang dia bikin sama sekali tak memperhitungkan kekuatan dan kelaikan layar.

”Perahu-perahu ini kan hanya ornamen. Makanya, nanti banyak ahli yang juga terlibat,” kata Djuhhari.

Ekspedisi itu ditujukan guna mengenalkan nilai-nilai kebudayaan tinggi bangsa Indonesia. Yoshiaki menjelaskan, tujuan ekspedisi itu untuk melihat kembali nilai-nilai luhur zaman Majapahit di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

”Kalau menunggu (bangsa) kita, tidak akan jalan-jalan. Ini mumpung ada orang yang peduli, ya kita sambut. Malu-malu sedikit, tidak apa-apa,” kata Djuhhari tentang semangat orang Jepang yang menggagas ekspedisi Majapahit itu.

Banting setir

Lahir di Malang, Djuhhari menyelesaikan pendidikan di STM Negeri Malang bagian bangunan pada 1957. Ibunya, seorang buruh tani, dan sang ayah mencukupi nafkah keluarga itu sebagai pengemudi. Mulai 1957-1963 Djuhhari bekerja pada salah satu biro kontraktor di Malang. Sejak 1963 dia menjadi kontraktor bangunan yang membangun gedung perkantoran.

Semasa muda, ia aktif pada organisasi Pandu Rakyat Indonesia. Namun, ia tak meneruskan aktivitas kepanduannya pada masa Pramuka karena merasa gerakan itu sudah ”disusupi” kepentingan politik. Merasa prihatin dengan sedikitnya orang Indonesia yang menekuni dunia kelautan, membuat Djuhhari banting setir pada 1980.

Selama 1980-1985 ia merasa usaha konstruksinya tak berkembang. Tahun 1985 semua dokumen yang berkaitan dengan usaha konstruksinya itu dibakarnya. ”Wis (sudah), ganti dunia baru,” ucap Djuhhari berseloroh.

Bermodal keterampilan tangan dan sejumlah buku, Djuhhari mulai berkreasi. Buku-buku itu dia peroleh dari berbagai sumber, mulai dari perpustakaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, Jatim, hingga membeli di luar negeri.

Berbagai ungkapan soal nenek moyang orang Indonesia yang disebut sebagai pelaut dan falsafah mengenai perahu justru menyemangati dia memulai usaha baru.

”Nenek moyang kita ini orang pelaut. Oleh karena itu, saya yakin, insya Allah, bahkan orang yang tinggal di pucuk gunung sekalipun ada yang punya jiwa bahari,” katanya.

Tak heran, misi utama dia memilih kerajinan miniatur perahu layar tradisional adalah mengenalkan soal budaya maritim yang seakan hilang di kalangan generasi muda. Padahal, kata Djuhhari, jenis perahu layar di Indonesia amat banyak. Namun, beragam jenis perahu itu belum terdata dengan lengkap dan jelas.

Bahkan untuk Jatim saja, tambahnya, terdapat tak kurang dari 50 jenis perahu layar tradisional. Bentuk-bentuk perahu layar tradisional itu tak banyak diketahui orang karena mulai dilupakan dan nyaris tak ada dokumentasi tentang hal itu.

”Kita ini bangsa agraris sekaligus maritim. Namun kita melupakan laut, justru orang asing yang memanfaatkan laut kita,” kata Djuhhari

0 comments:

Post a Comment

 
Toggle Footer